From Blogging, to Sharing

Responsive Ads Here

Minggu, 14 April 2019

Menulis Cerita Itu Mudah atau Sulit? Sharing Kepenulisan DKDC Squad

Menulis cerita itu mudah atau sulit?

BLITAR — kali ini kita sharing aja, ya. Tema sharing kita kali ini adalah soal tulis-menulis. Jika kalian ditanya menulis cerita itu mudah atau sulit, kira-kira apa jawaban kalian?

Jika saya pribadi akan menjawab, "Ya, nggak mudah dan nggak sulit-sulit amat. Bisa dikatakan berada di antara keduanya."

Ada yang setuju dengan jawaban saya? Kalau tidak, coba nanti kalian jawab alasan kalian sendiri, ya!

Baiklah, kembali ke jawaban saya tadi. Kenapa saya menjawab di antara keduanya, mudah dan sulit? Karena memang begitulah apa yang saya rasakan. Menulis cerita adalah sebuah proses yang panjang dan singkat dalam satu waktu sesuai dengan apa yang ditulis. Rumit, ya, bahasa saya? Sorry, jujur aku sendiri juga gak paham maksudnya.

Forget it!

Alasan kenapa mudah dan sulit itu sederhana. Karena sebenarnya dan saya yakin kalian juga merasakannya sendiri. Mau percaya atau tidak, bahwa menulis itu harus dalam keadaan mood yang benar.

Mood yang benar? Maksudnya gimana, tuh?

Maksudnya, ya, moodnya gak lagi naik turun alias stabil. Saat itu biasanya otak akan lebih aktif dalam mencari diksi untuk tulisan kita nantinya. Maka dari itu, jangan sekali-sekali memaksakan otak untuk berpikir keras di saat mood sedang tak stabil. Karena hal tersebut malah akan membuyarkan angan kita.

Itu artinya kita harus dalam keadaan bahagia untuk mendapatkan 'mood yang benar'?

Gak, gak perlu bahagia untuk mendapatkannya. Sebagian orang justru akan lebih lancar memainkan diksi prosa yang mendayu-dayu dikala hatinya hancur (eaaa XD). Contoh umumnya adalah orang yang baru patah hati karena putus cinta, ditinggal orang terkasih, bahkan jomlo ngenes, biasanya otaknya akan lebih aktif dalam menjaring lebih banyak permainan kata di dalam otak mereka. Jadi kalau mau bikin cerita sedih, coba putus cinta dulu (jangan dicoba! Nyesek!) XD

Lantas apa iya kita perlu bersedih untuk mendapat mood yang benar?

Nope! Di sinilah peran profesionalitas seorang penulis diuji. Kita diharuskan bertindak layaknya seorang aktor kawakan yang pandai berakting meski tidak dalam kondisi yang seharusnya. Pasti sulit bukan saat harus bersedih kala hati berbahagia? Ya, tentu saja sulit. Tapi masa iya menulis adegan sedih dengan diksi bahagia? Yang ada malah rancu, guys.

Kalau gitu sulit ya menulis itu, karena kudu bisa akting segala?

Kan udah kubilang, nulis itu, ya, susah tapi gampang.

Gampangnya di bagian mana?

Masa gak sadar, sih? Mudahnya menulis adalah kita gak perlu banyak alat untuk merealisasikan hobi ini. Terlebih di era digital 4.0 hari ini, banyak sekali aplikasi perangkat lunak yang bisa kita pakai untuk menulis—zaman sekarang mengetik bisa dikategorikan sebagai menulis. Sebut saja aplikasi perangkat lunak pengolah kata paling populer di seluruh dunia, Microsoft Word. Pasti kalian sudah mengenalnya. Bahkan ada yang lebih praktis kita gunakan untuk menulis dalam perjalanan atau sebagainya, melalui media telepon genggam.

Tanpa kita sadari kecanggihan teknologi sudah membantu sektor pengembangan tehnik menulis, dan mempermudahkannya. Jadi tak ada alasan yang mengatakan menulis itu rumit, ribet, bertele-tele, dan bisa bikin jari kejang-kejang karena ngetik. Itu contoh cerminan penulis malas.

Tapi tetep aja sulit, loh, terutama kalau ingin tulisan kita ingin dicetak. Maksudnya emang modal hape doang bisa? Kan gak bisa! Terlebih nerbitin karya tulis fiksi kita dalam bentuk buku kan ribet, kudu print naskah, terus kirim ke penerbit, itupun kita disuruh nunggu beberapa hari hingga bahkan bulan untuk mendapat kepastian dari doi, eh, maksudnya penerbit. Ya, kalau naskah kita diterima, kalau ditolak? Ya, sama aja kita kaya di-PHP-in, dong? Kan nyesek ... Hiks ....

Dih, jadi penulis kok cengeng. Ya, tapi pemikiran semacam itu lumrah, kok. Bahkan dulu saya sendiri sempat berpikir demikian. Lantas hampir nyerah jadi penulis fiksi dan banting stir jadi penulis nonfiksi untuk blog pribadi. Hasilnya? Alhamdullilah ... mau gimanapun juga, tetep disyukuri (baca: blognya sepi!).

Hampir vakum nulis gara-gara itu hingga kemudian negara api menyerang. Saya terbangun dari tidur, ambil gawai di atas nakas, tanpa menghiraukan belek di mata, langsung ngetik entah apapun itu. Kemudian ... kirim ke situs menulis daring terpopuler. WATTPAD! Bentar kok aku ngelantur gini, ya.

Oke, singkat cerita cerita fiksi pertama saya selesai dan ada orang datang sambil nawarin kontrak. "Mau kaga cerita ente ane lamar jadi buku?" (Kejadian sebenernya gak seperti itu).

Karena antusias yang warbiasyahh! Saya menerimanya. Dari sana saya mulai mempelajari sistem penerbitan. Ternyata tak serumit yang ada di bayangan. Menerbitkan buku secara indie tapi gratis itu ternyata mudah  bin easy. Kita gak perlu loh ngirim naskah bentuk print ke penerbit, cukup kirim bentuk file dokumen, tanda tangan kontrak digital (kadang ada yang tanda tangan nondigital), MoU, dan tinggal tunggu hasil karya kita dalam bentuk buku. Simpel, kan?

Iya, tapi kita gak bisa leha-leha setelah itu. Karena menerbitkan indie, kita sendiri lah yang harus membantu memasarkan buku kita. Jika branding diri kita bagus di sosial media, saya yakin tak sulit dalam menggaet pembeli dalam jumlah banyak sekalipun. Intinya kalian tetap harus berusaha agar karya laku.

Wah, jadi gitu, ya? Hmm ... tapi tetep aja sulit, hehe ....

IYALAH NAMANYA JUGA PEKERJAAN, PASTI ADA BAGIAN SULIT DAN MUDAHNYA. KALAU MUDAH TERUS ITU NAMANYA TIDUR, ITUPUN KALAU LAGI INSOMNIA TETEP AJA SULIT!!!

Yee, jadi author kok ngegasss :'v

BODO AMAT!!!

Kabur, ah! :'v

SERAH LU!

Oke. Jadi intinya adalah menulis itu bukan hal yang mudah banget atau sulit banget. Just enjoy dan temukan kesenangan di sana.

Selamat berkarya.

(Artikel di atas disadur dari materi sharing hari Jumat, 12 April 2019 lalu di Grou Chat DKDC Squad oleh Suwoko Saiyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar